Cerpen Aan Kunchay: Konferensi Para Resolusi 2025

Minggu, 29-Desember-2024, 09:49


Konferensi Para Resolusi 2025

“Sudah cukup! Aku tidak mau lagi dihina seperti ini.”

Resolusi ‘Mulai Diet’ berdiri dari kursinya. Ia menunjuk ke arah aula besar tempat Resolusi lainnya berkumpul. Tangannya gemetar, entah karena marah atau kelelahan.

“Setiap tahun aku dilahirkan dengan penuh harapan. Tapi minggu kedua Januari, aku sudah dibuang seperti sampah. Apa gunanya aku ada?”

Di sudut ruangan, ‘Rajin Menabung’ terkekeh sinis. “Setidaknya kamu bertahan dua minggu. Aku? Dua hari. Dua hari sebelum aku dikalahkan oleh diskon online dan tagihan kartu kredit.”

“Coba jadi aku!” sahut ‘Lebih Sabar.’ Suaranya pelan, hampir tenggelam di antara suara Resolusi lain. “Aku bahkan tidak pernah dijalankan sejak hari pertama. Mereka bilang ingin lebih sabar, tapi masih memaki pengendara lain di jalan tol.”

Percakapan berubah menjadi riuh. Aula yang dingin itu terasa semakin penuh dengan suara keluhan. Resolusi-resolusi saling berbicara, mencoba mengalahkan satu sama lain dalam daftar penderitaan mereka.

Di pojok aula, ‘Bahagia dengan Hal Kecil’ hanya diam. Ia kecil dan lusuh, hampir tak terlihat di antara Resolusi yang lain.


Seperti biasa, pertemuan tahunan Resolusi berakhir tanpa solusi. Satu per satu Resolusi pergi, membawa beban tak terucap.

“Bahagia, kenapa kamu tidak bicara tadi?” tanya ‘Rutin Olahraga’ yang berjalan di sampingnya. Posturnya tinggi dan atletis, meski wajahnya mulai kusut karena kurang tidur.

‘Bahagia dengan Hal Kecil’ menunduk. “Untuk apa? Mereka tidak akan mendengarkan.”

“Kamu terlalu pasrah. Hidup ini butuh usaha,” cemooh ‘Rutin Olahraga.’

“Tapi aku kecil,” katanya pelan. “Manusia bahkan tidak sadar aku ada.”


Hari pertama tahun baru tiba. ‘Bahagia dengan Hal Kecil’ menerima tugasnya. Kali ini, ia harus menemani seorang wanita bernama Mira.

Mira duduk di kafe kecil. Di hadapannya, secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya sembab, wajahnya kosong.

“Hari pertama tahun baru,” gumamnya. “Dan aku sudah gagal.”

‘Bahagia dengan Hal Kecil’ melayang di kursi sebelahnya. Ia tahu Mira tak bisa melihatnya, tetapi ia tetap mencoba.

“Kamu tidak gagal,” bisiknya.

Mira mengeluarkan buku catatan dari tasnya. Halaman pertamanya tertulis: Resolusi 1: Tidak menangis karena hal kecil.

Namun, ada tetesan air mata di ujung kertas.

“Tapi aku menangis,” katanya lirih.

‘Bahagia dengan Hal Kecil’ tersenyum kecil. “Kenapa menangis buruk?” tanyanya. Tapi ia tahu Mira tidak akan menjawab.


Hari itu, Mira pergi ke taman. Ia duduk di bangku kayu, menatap pohon-pohon yang bergoyang perlahan. Seorang lelaki tua menghampirinya.

Di tangannya, burung kertas kecil.

“Burung-burung ini akan terbang ke langit,” katanya.

Mira menatap burung itu skeptis. “Bagaimana mungkin burung kertas bisa terbang?”

Lelaki itu tertawa. “Segalanya bisa terbang, kalau kamu cukup percaya.”

Untuk pertama kalinya hari itu, Mira tersenyum. Hanya sedikit, tapi cukup.


Malamnya, Mira kembali membuka buku catatannya. Ia mencoret Resolusi pertama.

“Tidak apa-apa menangis,” bisiknya.

Di sudut ruangan, ‘Bahagia dengan Hal Kecil’ tersenyum.


Waktu berjalan. Januari menjadi Februari. Resolusi-resolusi lainnya mulai memudar. ‘Mulai Diet’ hilang di antara bungkus keripik dan cokelat. ‘Rajin Menabung’ terkubur di bawah tagihan listrik dan pulsa. Bahkan ‘Rutin Olahraga’ menyerah pada rutinitas kerja Mira yang membosankan.

Tapi ‘Bahagia dengan Hal Kecil’ tetap tinggal. Ia menemani Mira di pagi yang dingin, di bawah langit mendung. Ia ada saat Mira menyeruput teh hangat atau menatap sinar matahari yang menerobos jendela.

Setiap kali Mira menemukan hal kecil yang membuatnya tersenyum—sebuah lagu lama, aroma buku baru, atau bunyi hujan di genting—’Bahagia dengan Hal Kecil’ menjadi sedikit lebih nyata.


Suatu hari, Mira menulis sesuatu di bagian belakang buku catatannya: Aku tidak perlu menjadi besar untuk merasa cukup.

Malam itu, ‘Bahagia dengan Hal Kecil’ kembali ke aula Resolusi. Aula itu kini sepi, hanya dihuni Resolusi yang masih bertahan.

“Mereka tidak melupakanku,” katanya pada ‘Rutin Olahraga,’ yang kini tampak lemas, hampir pudar.

“Bagaimana mungkin?” tanya ‘Rutin Olahraga.’

“Mungkin karena aku tidak meminta terlalu banyak,” jawabnya.


Langit malam penuh bintang. Mira berdiri di balkon kecil apartemennya. Angin lembut menyapu wajahnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda.

Ia menatap ke langit, mencoba menemukan bintang paling terang.

“Apakah cukup hanya bahagia dengan hal kecil?” tanyanya, setengah pada dirinya sendiri.

Pertanyaan itu terbang bersama angin.

Lahat, Penghujung 2024

Tentang Penulis: Aan Kunchay, seorang jurnalis di Kabupaten Lahat.

Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on Whatsapp

BERITA TERKINI

Opini Kamis, 10-April-2025 - 09:16

Car Free Day dan Lubuk Larangan?

selengkapnya..

Loading poll ...

Nak Keruan Gale

Seni Budaya

Wisata

Almamater